Maktabah Online On :
Duka berkalang bahagia
Tak mudah memang memberikan sebuah kata maaf, apalagi kesalahan itu telah tertancap dihati dan mendekam dalam jiwa. Terlebih dia itu adalah pasangan kita sendiri, owh sungguh menyakitkan memang ..
Namun kedukaan atas kesalahan pasangan kita itu bisa berkalang bahagia tatkala kita membuka jiwa kita, berusaha menundukkan nafsu kita, dan memberikan taburan kata maaf bagi pasangan kita.
Bila itu ada pada jiwa kita, demikian juga terhadap orang lain. Bayangkanlah kepenatan hidup ketika setiap kemarahan orang menjadi bencana bagi kita, kebobrokan moral orang menjadi kiamat dalam hidup kita. Ketika kepasrahan memaksa orang berdamai dengan bencana, maka kesadaran manusiawi seharusnya memaksa kita bertoleransi terhadap segala kekurangan orang lain. Itulah makna sejati dari sebuah kata singkat yang sangat hebat…: “MAAF”.
Maka Allah berfirman,
“Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (al-Maidah : 13)
“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (al-Hijr : 85)
Allah bahkan menyandingkan kata “maaf” dengan peringatan terhadap kiamat. Betapa kata maaf erat sekali hubungannya dengan perjalanan seorang muslim menuju akhirat. Artinya, tanpa menjadi pribadi yang pemaaf, seorang muslim tak akan dapat memasuki Surga yang begitu luhur dan mulia. Surga adalah tempat bagi kaum pemaaf.
Bila rumah tangga bertabur maaf, ia akan tumbuh sebagaimana manisnya buah yang memberi kenikmatan pada setiap anggotanya. Istri akan sangat berbahagia di sisi suami yang pemaaf dan mudah bertoleransi. Begitu pula sebaliknya. Anak-anak akan hidup dalam damai, karena segala kekurangan mereka “dikoreksi”, tanpa “diadili”. Bila pun harus diadili, mereka tak akan diberi sanksi, kecuali sebatas sanksi itu berfungsi baik membangun kebaikan pada diri mereka.
Syekh Ibrahim bin al-Hamd, saat menjelaskan kewajiban suami memenuhi kebutuhan istri menegaskan, “Bukan berarti suami dapat terus-menerus melalaikan hak-hak istrinya. Sebaliknya, ia harus memperhatikannya dan mohon maaf jika ia lalai dalam memenuhi haknya serta mengingatkan pahala yang akan ia terima atas kesabarannya. begitu pun sebaliknya.
Menjalankan kewajiban, lalu meminta maaf bila melakukan kekurangan. Itu intinya. Seperti memberi maaf, meminta maaf pun butuh dibiasakan. Toleransi dengan maaf adalah perpaduan antara bertoleransi dengan mudah memberi maaf, dan bertoleransi untuk mudah meminta maaf. Keduanya harus seimbang. Tak cukup seseorang banyak memberi maaf kepada siapa pun tanpa ia mudah meminta maaf atas segala kekeliruannya, atau atas segala kemungkinan di mana ia bisa saja keliru tanpa ia menyadarinya.
Kita akan menjadi pribadi yang didekati orang, bila kita bertabur maaf. Orang senang berdekatan dengan kita. Karena kemarahan kita, tak membuat kita “menyegel” derajat orang di depan kita. Karena emosi kita, tak membuat kita merasa patut berlaku zhalim pada siapa pun. Bahkan kezhaliman orang terhadap kita pun tak lantas membuat kita layak melakukan kezhaliman serupa terhadapnya. Berbahagialah orang yang hidup dekat dan berinteraksi rapat dengan orang yang punya segudang maaf di hatinya.
Tapi, akan buyar segala penghormatan manusia terhadap orang dengan kekayaan maafnya, bila orang itu selalu merasa pantang memohon maaf bahkan atas kesalahan fatalnya sekali pun terhadap orang lain. Ia hanya pandai memberi, tanpa lihai menawarkan diri. Mudah memberi maaf, tapi sulit meminta maaf.
Cobalah amati firman Allah berikut,
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik…” Di akhir ayat, Allah menegaskan,
“Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah 178)
Proses meminta maaf adalah sederhana, dan terkait dengan konsep tobat, bila itu terkait dengan hak orang lain.
1. Menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.
2. Meninggalkan dosa tersebut.
3. Bertekad tak mengulanginya lagi
4. Mengembalikan hak orang lain, atau meminta dihalalkan atas kesalahannya.
Bila seseorang banyak menggunjing orang lain misalnya, maka taubatnya hanya diterima bila ia menyesali kenapa ia sampai menggunjing sahabatnya itu. Lalu ia tinggalkan kebiasaan menggunjingnya. Setelah itu tanamkan tekad tak akan mengulanginya. Baru sesudah itu, minfa maaf. Atau apapun itu terkait dengan kesalahan pasangan anda.
Seseorang tak layak disebut utama, bila ia hanya bisa memberi maaf tanpa bisa memintanya, atau selalu meminta maaf tapi begitu payah dalam memberi maaf. Yang terakhir ini bahkan lebih parah lagi. Karena orang yang banyak meminta maaf tanpa mudah memberi maaf adalah orang egois dalam makna yang paling menyebalkan.
Sebagai penutup, harus pula kita ingatkan bahwa segala sesuatu tidaklah boleh berlebihan. Begitu juga meminta atau memberi maaf. Tak boleh memberi maaf hingga pada batas melalaikan amar ma’ruf nahi munkar. Tak apik seseorang terlalu banyak meminta maaf sampai-sampai ungkapan itu hanya menjadi pemoles bibir saja. Banyak meminta maaf, lalu berbuat kekeliruan yang sama lebih banyak lagi. yah walaupun memang kita terkadang begitu keadaannya..
Orang seperti itu tak butuh diingatkan untuk banyak mengumbar permintaan maaf, tapi cukup diberi penyadaran bahwa meminta maaf pun ada konsekuensinya. Jangan cuma minta maaf, tapi yang penting kesalahan itu berusaha untuk jangan diulangi lagi!
Semoga artikel ringkas ini bermanfaat bagi anda disaat ingin memaafkan kesalahan pasangan anda, karena sebaik-baiknya anak Adam bukanlah yang tak pernah salah melainkan yang berusaha memperbaiki kesalahannya .. Allahu A'lam ..
Diringkas dari majalah sakinah
Rabu, 21 Maret 2012
Duka Berkalangan Bahagia
Ditulis Oleh : Unknown ~ Blog Pribadi Abu Iram Al-Atsary
Selamat, Anda sedang membaca artikel saya yang berjudul Duka Berkalangan Bahagia - Artikel ini diposting oleh Unknown pada hari Rabu, 21 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Jangan lupa like ke akun facebook anda untuk berbagi - Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui Buku Tamu Kami. By. Abu Iram Al-Atsary.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini: